Indonesia masih terus menantikan gelaran jaringan 5G di berbagai kota. Tercatat hingga saat ini mungkin baru 13 kota yang memiliki jaringan 5G dalam area terbatas. Mengapa demikian ?
Salah satu kendala adalah frekuensi yang digunakan, namun seiring dengan kebijakan Analog to Digital TV, untuk membebaskan frekuensi untuk 5G. Program ini dikenal dengan Analog Switch Off (ASO), dan hasilnya frekuensi 700 Mhz (low band) untuk 5G sudah bersih dan dapat dilelang.
Saat ini kita masih menunggu lelang yang akan diadakan pemerintah pada awal tahun 2024. Berapa lama lagi kita harus menunggu? Sedangkan saat ini telah berkembang pesat teknologi jaringan 6G.
Dilansir dari techtarget.com, jaringan nirkabel generasi keenam atau 6G merupakan perkembangan dari teknologi 5G. Keunggulan dari teknologi 6G ialah mampu menyediakan kapasitas yang lebih tinggi dan latensi yang jauh lebih rendah.
Kendala kedua dari gelaran jaringan 5G adalah ketersediaan "backbone" yang menghubungkan antar BTS harus merupakan jaringan kabel fiber optic kapasitas besar. Para penyelenggara telekomunikasi diminta mempercepat pengembangan infrastruktur 5G terutama untuk jaringan backbone. Hal tersebut agar koneksi antar BTS dan jaringan middle-mile/backhaul, memiliki kapasitas transmisi yang besar dan responsif. Selain itu, infrastruktur pasif juga perlu diutamakan agar mendukung jaringan 5G yang memadai.
Gelaran ini pastinya memakan waktu, mengingat kondisi geografis Indonesia, dan tentu saja ini adalah biaya lagi untuk semua operator. Maka jangan heran akan ada operator khusus penyedia jaringan Fiber Optic, seperti iForte dan sekarang gelaran FO dari Lintasarta. Sebelumnya telah ada Telkom dan Moratel yang menggelar jaringan FO.
6G memang menarik. Gegap gempita 5G sendiri telah ada sejak 2020, namun 4 tahun berselang kita belum merasakan dampaknya.
Salah satu nilai dari 5G dan 6G adalah kemudahan untuk mendukung implementasi AI dan Machine Learning. Dengan kapasitas bandwidth yang baik, maka ini sangat membantu kecepatan akses dari Edge computing kita.
Selain 5G dan 6G yang harus kita tentukan arahnya, ada lagi perkembangan menarik dari satelit yang melayani koneksi Internet.Salah satunya adalah Starlink.
Starlink adalah proyek konstelasi satelit yang dikembangkan oleh SpaceX, perusahaan dirgantara swasta yang didirikan oleh Elon Musk. Tujuan dari Starlink adalah menyediakan akses internet cepat, rendah-latensi, secara global, untuk daerah yang kurang terlayani dan terpencil di seluruh dunia.
Dan ini sejujurnya juga sangat cocok untuk kondisi geografis Indonesia, yang sangat memiliki banyak kepulauan. Bila kita melihat kapasitas dan penggunaannya, Internet berkecepatan tinggi akan tumbuh tinggi di perkotaan dan daerah industri. Tapi untuk rakyat kebanyakan, mungkin jaringan satelit inilah yang cocok.
Itu dia sebabnya, pemerintah kita meluncurkan Satria 1 yang telah orbit Juni 2023 kemarin, dan kita harapkan segera dapat digunakan oleh rakyat Indonesia.
SATRIA-1 adalah satelit internet pertama milik Indonesia yang disiapkan untuk meratakan akses internet, terutama keperluan pendidikan, kesehatan, layanan publik, TNI, Polri, dan masyarakat di wilayah terdepan, tertinggal dan terluar (3T).
Kembali ke diskusi awal kita, bila 5G masih memakan waktu hingga 1-2 tahun lagi, belum lagi kerumitan upgrade yang harus dilakukan semua operator komunikasi, apakah tidak lebih baik kita langsung ke 6G dalam 3-5 tahun ke depan?
Sedangkan untuk akses Internet murah dan bisa diakses dimana saja, maka Satelit Low Orbit mungkin cukup dilayani oleh Satria 1 dan Starlink, karena kebutuhannya hanya 1 Mbps saja per titik.
Semua kembali kepada kesiapan kita, dan kita tetap mendukung upaya pemerintah melakukan pemerataan ekonomi digital di seluruh pelosok negeri.
Pastikan anda tidak ketinggalan berbagai berita IT dan Hukum, yang anda bisa akses di www.biskom.web.id , serta kegiatan kami di www.eventcerdas.com . Anda punya pendapat lain ? Mari berikan komentar.
Sumber : https://www.linkedin.com/pulse/5g-atau-6g-saja-satelit-fanky-christian-m8csc/